Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Barat, Aris Supratman, menatap langkah pemerintah dengan harap-harap cemas.
Menurutnya, keluarnya Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) serta pembentukan Satuan Tugas PKH, menjadi momentum penting untuk menyelesaikan kekisruhan lahan sawit yang selama ini menggantung statusnya.
“Kami berharap agar lahan yang sudah memiliki alas hak, baik sertifikat HGU maupun SHM, tidak menjadi objek penertiban. Karena itu adalah hak yang diterbitkan oleh negara sendiri,” ujar Aris, membacakan sambutan Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, pada Forum Bisnis Kemitraan ASPEKPIR Indonesia 2025 di Kubu Raya, Senin (27/10/2025).
Hingga pertengahan September 2025, Satgas PKH tercatat telah menerima penyerahan 3,3 juta hektare lahan, dari target awal 1 juta hektare.
Dari jumlah itu, 1,5 juta hektare telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara untuk dikelola lebih lanjut.
Namun, bagi pelaku usaha sawit di daerah, langkah cepat ini justru menimbulkan pertanyaan baru. Aris meminta agar pemerintah segera memastikan status lahan hasil penyerahan tersebut—apakah akan dikembalikan ke kawasan hutan atau tetap dapat diusahakan.
“Kepastian sangat penting, karena ini menyangkut tenaga kerja, rantai pasok, dan keberlanjutan produksi sawit nasional,” tegasnya.
Selain soal status lahan, dunia sawit juga sedang dihadapkan pada perdebatan soal perizinan pabrik kelapa sawit (PKS)—terutama PKS Tanpa Kebun dan PKS Brondolan.
Aris menjelaskan, dalam sektor pertanian, izin PKS disyaratkan harus terintegrasi dengan kebun, sebagaimana diatur dalam Permentan Nomor 98 Tahun 2013.
Namun di sektor perindustrian, aturan itu longgar—pabrik bisa berdiri tanpa harus memiliki kebun.
“Kalau dibiarkan, ini bisa merusak tatanan kemitraan yang sudah dibangun lama antara perusahaan inti dan petani plasma,” kata Aris.
Ia menilai, jika PKS tanpa kebun dibiarkan, maka potensi lepasnya hasil kebun plasma dari rantai kemitraan resmi makin besar dan berisiko menurunkan standar ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang menjadi syarat utama keberlanjutan industri sawit.
Tak berhenti di sana, GAPKI Kalbar juga menyoroti peran sawit dalam ketahanan pangan nasional.
Aris mengajak anggota ASPEKPIR—asosiasi petani plasma—untuk turut berkontribusi dengan menanam padi gogo atau jagung secara tumpangsisip di lahan program peremajaan sawit rakyat (PSR).
“Kita ingin sawit bukan hanya menopang ekonomi, tapi juga memperkuat pangan di daerah,” ujarnya. (zan)




