JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan pelaku usaha sawit nasional siap menghadapi implementasi regulasi anti-deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang mulai berlaku Desember 2025.
Namun, tantangan utama justru berada di tingkat petani kecil yang belum memiliki standar pengelolaan lahan seketat perusahaan besar.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono mengungkapkan Uni Eropa tetap akan menerapkan EUDR dengan pemberian masa transisi.
Dalam skema yang disampaikan, perusahaan sawit akan diberi waktu enam bulan, sementara petani dan pelaku usaha kecil memperoleh masa penyesuaian selama satu tahun.
“Kalau kita lihat dari sisi perusahaan, Indonesia sebenarnya sudah cukup siap. Hampir semua anggota GAPKI tidak ada pembukaan lahan baru setelah 31 Desember 2020, menjadi batas dianggap melakukan deforestasi dalam EUDR,” ujar Eddy, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/10/2025) dikutip ANTARA.
Ia menjelaskan, komitmen tersebut sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2019 yang melarang pembukaan izin baru pada hutan alam primer dan lahan gambut.
Dengan kebijakan itu, perusahaan sawit nasional telah memiliki dasar hukum yang selaras dengan persyaratan EUDR.
Namun, kesiapan tersebut tidak sepenuhnya tercermin pada tingkat petani rakyat. Eddy menekankan bahwa petani belum memiliki regulasi tegas terkait pembukaan lahan, sekaligus belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem ketertelusuran (traceability) dan pemeriksaan uji tuntas (due diligence) yang diwajibkan EUDR.
“EUDR ini satu paket. Bukan hanya perusahaan, tapi juga petani harus patuh. Mereka harus masuk dalam sistem traceability dan due diligence,” tegasnya.
Eddy menambahkan, perusahaan kelapa sawit tidak bisa serta-merta menolak tandan buah segar (TBS) dari petani mitra, sehingga kepatuhan petani akan menentukan keberlanjutan ekspor sawit ke pasar Eropa.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah tengah melakukan negosiasi intensif dengan Uni Eropa agar implementasi EUDR tidak membebani petani kecil.
Salah satu langkah strategis adalah percepatan penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) serta penguatan sistem pelacakan asal produk sawit.
Eddy optimistis, masa transisi selama satu tahun yang diberikan kepada petani akan menjadi momentum bagi Indonesia untuk melakukan konsolidasi dan pembenahan struktural.
“Satu tahun itu cukup. Perusahaan bisa siap dalam enam bulan, dan petani punya waktu untuk berbenah. Kalau skemanya seperti itu, ekspor ke Eropa seharusnya masih bisa berjalan,” kata dia.




