Beranda / Berita / Kebijakan / Malaysia Protes Klasifikasi "B...
Kebijakan

Malaysia Protes Klasifikasi "Berisiko Standar" dalam Aturan Antideforestasi UE: Data Usang Jadi Alasan

Klasifikasi UE didasarkan pada metode yang terlalu sempit dan tidak lengkap, hanya mengacu pada angka rata-rata hilangnya hutan tahunan antara 2015 dan 2020.

2 Juni 2025
16 menit membaca
Admin SahabatSawit
Malaysia Protes Klasifikasi "Berisiko Standar" dalam Aturan Antideforestasi UE: Data Usang Jadi Alasan

Ilustrasi

Bagikan:

SINGAPURA – Malaysia, eksportir minyak sawit terbesar kedua di dunia, secara resmi akan meminta Uni Eropa (UE) untuk meninjau kembali klasifikasinya sebagai negara "berisiko standar" dalam Undang-undang Antideforestasi UE (EUDR).

Keputusan tersebut dinilai tidak didasarkan pada data terbaru, melainkan mengacu pada data usang dari tahun 2020.

Malaysia Tegaskan Komitmen Keberlanjutan

Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Johari Abdul Ghani, dalam sebuah acara di Singapura pada Rabu (28/5/2025), mengungkapkan bahwa klasifikasi risiko UE mengacu pada data tahun 2020 dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Padahal, menurut Johari, Malaysia telah mengambil berbagai langkah signifikan yang seharusnya menempatkan negaranya dalam kategori risiko rendah.

"Malaysia telah menerapkan kebijakan ketat tanpa deforestasi dan mengembangkan sistem sertifikasi kami sendiri yang memastikan keterlacakan, kepatuhan, dan inklusivitas, terutama bagi petani kecil," ujar Johari, dikutip Reuters, Senin (2/6/2025).

Komisi Eropa pada 21 Mei 2025 hanya memasukkan empat negara dalam daftar risiko tinggi deforestasi EUDR: Belarus, Myanmar, Korea Utara, dan Rusia.

Sementara itu, 27 negara Uni Eropa, Tiongkok, hingga Amerika Serikat masuk dalam deretan negara dengan risiko deforestasi rendah. Bersama Indonesia dan Brasil, Malaysia saat ini dikategorikan sebagai negara berisiko standar.

EUDR, yang diperkirakan mulai berlaku pada Desember 2025, mencakup komoditas seperti kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, kakao, kopi, serta produk turunannya.

Negara-negara berisiko standar akan menghadapi pemeriksaan kepatuhan yang lebih ringan, namun negara berisiko rendah akan dikenai aturan uji tuntas (due diligence) yang jauh lebih longgar, yang tentunya menguntungkan eksportir.

 Kritik Metodologi UE dan Harapan Perubahan Status

Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOC) turut menyuarakan keprihatinan, menyebut bahwa klasifikasi UE didasarkan pada metode yang terlalu sempit dan tidak lengkap, hanya mengacu pada angka rata-rata hilangnya hutan tahunan antara 2015 dan 2020.

“Kerangka waktu yang singkat ini tidak menunjukkan gambaran yang utuh,” sebut mereka dalam pernyataan tertulis, seraya menambahkan kekhawatiran bahwa metodologi UE hanya melihat kehilangan hutan secara umum dan mendiskriminasi sektor minyak sawit.

Di tengah keputusan UE tersebut, Johari menegaskan kembali komitmen Malaysia untuk menyampaikan bukti ilmiah terbaru guna mendukung permintaan perubahan status menjadi berisiko rendah.

"Kami berkomitmen penuh untuk bekerja sama dengan Komisi UE guna memastikan pengakuan yang adil terhadap kemajuan kami," tambahnya, seraya menyatakan bahwa Malaysia juga telah berpartisipasi secara luas dalam upaya keberlanjutan internasional.

Komisi Eropa menyatakan bahwa metodologi mereka mengacu pada komitmen terhadap keadilan, objektivitas, dan transparansi, dan diklaim memiliki proses benchmarking yang dinamis serta akan ditinjau kembali pada tahun 2026 setelah publikasi data baru akhir tahun ini.

Malaysia kini berharap dengan data dan bukti terbaru yang akan disajikan, status mereka dapat segera direvisi menjadi negara berisiko rendah. (zan)

Tag:

MalaysiaUndang-undang Antideforestasi UE FAOKomisi Eropa MPOC

Berita Terkait