SUMATERA UTARA - Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) tak ingin program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) jalan di tempat.
Pada 2025, lembaga pengelola dana sawit itu menyiapkan lima jurus percepatan agar ribuan hektare kebun rakyat bisa diremajakan lebih cepat, tepat, dan tuntas.
Direktur Penyaluran Dana Sektor Hulu BPDP, Normansyah Hidayat Syahruddin, mengatakan lima pendekatan itu disiapkan sebagai langkah konkret.
Tujuannya guna menjawab berbagai tantangan pelaksanaan PSR yang selama ini kerap tersendat, mulai dari urusan legalitas lahan hingga tumpang tindih administrasi di lapangan.
“Kami memiliki lima pendekatan untuk mempercepat program PSR tahun ini,” ujar Normansyah di Jakarta, Senin, 3 November 2025.
Pendekatan pertama, kata dia, ialah sosialisasi bersama Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian mengenai regulasi pendanaan PSR terbaru.
Langkah kedua, memperkuat koordinasi dan kolaborasi dengan para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit, mulai dari dinas perkebunan daerah hingga perusahaan besar.
Ketiga, BPDP mendorong peran aktif Dinas Perkebunan kabupaten/kota serta perusahaan mitra dalam mendampingi petani swadaya dan petani plasma.
Keempat, menggandeng asosiasi seperti GAPKI, Apkasindo, dan Aspekpir untuk menyosialisasikan penyederhanaan syarat pendanaan.
Terakhir, melakukan integrasi penerbitan rekomendasi teknis agar proses keluarnya surat keputusan (SK) Direktur Utama BPDP bisa dilakukan tanpa jeda waktu panjang.
Hingga Oktober 2025, BPDP telah menerima 198 rekomendasi teknis dari Ditjenbun dan menyalurkan 166 di antaranya, mencakup 26.823 hektare lahan dengan total dana Rp804 miliar kepada 12.343 pekebun.
Normansyah menyebut, program PSR terbukti meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. “Kami ingin memastikan dana PSR tersalurkan lebih cepat, agar dampak ekonominya lebih terasa di tingkat pekebun,” katanya.
Sementara itu, Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian, Baginda Siagian, menegaskan bahwa PSR merupakan kunci keberlanjutan industri sawit nasional yang kini menopang lebih dari 16 juta tenaga kerja dan menjadi penyumbang devisa terbesar di sektor nonmigas.
Lebih dari 300 ribu hektare sawit rakyat sudah diremajakan, tapi capaian ini masih jauh dari ideal.
"Tantangan terbesar bukan hanya pendanaan, melainkan legalitas lahan dan dokumen petani, kata Baginda dalam Forum Indonesian Palm Oil Stakeholders (IPOS) ke-10 di Jakarta.
Kementan, lanjutnya, tengah mempercepat proses verifikasi dan asistensi lapangan agar lebih adaptif tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian.
“Dari forum seperti IPOS ini, kami berharap muncul rekomendasi konkret untuk memperkuat tata kelola industri sawit nasional, dari sisi regulasi, teknologi, hingga pemberdayaan petani,” ujarnya.
Ketua GAPKI Sumatera Utara, Timbas Prasad Ginting, menilai pelaksanaan PSR masih menghadapi banyak hambatan teknis dan administratif.
“Masalah legalitas lahan dan verifikasi lapangan sering kali memperlambat pelaksanaan. IPOS Forum diharapkan bisa menemukan solusi bersama antara pemerintah, pelaku usaha, dan petani,” katanya. (zan)




