Beranda / Berita / Tata Niaga / Sawit Malaysia Meleset, Harga ...
Tata Niaga

Sawit Malaysia Meleset, Harga CPO Menggeliat, Siap-siap RM4.600 per Ton di Awal 2026

Pemerintah diperkirakan tetap mempertahankan program B40 pada paruh pertama 2026 dan melangkah ke B45 pada paruh kedua.

6 November 2025
13 menit membaca
Admin SahabatSawit
Sawit Malaysia Meleset, Harga CPO Menggeliat, Siap-siap RM4.600 per Ton di Awal 2026

Ilustrasi

Bagikan:

MALAYSIA - Harga minyak sawit mentah (CPO) sedang bersiap naik tajam. Glenauk Economics memprediksi harga bisa menembus RM4.600 per ton pada paruh pertama 2026.

Bukan karena permintaan yang meledak, tapi karena musim panen yang datang terlambat—dan hujan yang datang terlalu cepat.

Sebelumnya, pasar sawit dunia menahan napas. Setelah setahun bergulat dengan cuaca ekstrem dan kebijakan biodiesel yang berubah-ubah, industri sawit kini berhadapan dengan anomali baru: musim puncak produksi yang tertunda.

Glenauk Economics, lembaga riset berbasis di London, memproyeksikan harga CPO akan bertahan kuat di kisaran RM4.300–RM4.600 per ton pada semester pertama 2026.

Harga acuan di Bursa Malaysia Derivatives Exchange pada awal pekan ini sudah menutup di level RM4.115 per ton—pertanda bahwa tren menguat mulai terasa.

Keterlambatan musim panen menjadi kunci utama. Biasanya, hasil sawit mulai menurun menjelang akhir tahun. Namun kali ini, puncak produksi baru diprediksi mereda pada Desember 2025 hingga Januari 2026. “Fundamental pasar sawit masih sangat kuat,” tulis Glenauk dalam laporan yang dikutip CIMB Securities.

Kondisi di lapangan ikut menambah tekanan. Curah hujan yang tinggi di bagian utara Semenanjung Malaysia membuat akses ke perkebunan sulit, memukul hasil tandan buah segar. Produksi pun tersendat, panen tertunda, dan harga terdorong naik.

Glenauk memperkirakan produksi Indonesia naik 3% tahun depan, sementara Malaysia hanya tumbuh 1% menjadi sekitar 19,6–19,8 juta ton—di bawah ekspektasi pasar.

Di Sabah, sekitar 4% kebun sawit akan diremajakan pada 2025, memperlambat pertumbuhan produksi nasional. “Lonjakan output mungkin terjadi sesaat, tapi total produksi akan kembali normal di kisaran 19,6–19,7 juta ton, tergantung cuaca,” tulis lembaga itu.

Di sisi lain, kebijakan biodiesel Indonesia menjadi faktor penentu. Pemerintah diperkirakan tetap mempertahankan program B40 pada paruh pertama 2026 dan melangkah ke B45 pada paruh kedua. Untuk mendanai program itu, pungutan ekspor sawit akan dinaikkan hingga 17,5%.

Dampaknya? Perusahaan Malaysia seperti IOI Corp, SD Guthrie, Ta Ann Holdings, dan Hap Seng Plantations justru diuntungkan karena minim eksposur di Indonesia. Sebaliknya, produsen sawit Indonesia harus menanggung biaya ekspor yang lebih berat.

Di balik kenaikan harga CPO, ada paradoks: cuaca yang tidak bersahabat justru membawa keuntungan. Ketika hujan menghambat panen dan stok menipis, pasar kembali berpihak pada produsen.

Namun euforia itu bisa berumur pendek. Begitu langit cerah dan pohon sawit pulih dari stres panen, harga bisa kembali mengalir turun. Untuk sementara, sawit kembali berkilau—di tengah badai yang membuatnya tumbuh lebih lambat. (zan)

 

Tag:

Harga CPO MalaysiaGlenauk Economics

Berita Terkait