KALBAR - Di tengah hutan lebat dan sungai-sungai raksasa Kapuas Hulu, sekelompok petani sawit menyalakan api kecil perubahan.
Mereka tak sekadar menanam pohon, tapi menanam harapan — tentang sawit yang bisa sejahtera tanpa menebang hutan, dan manusia yang bisa hidup berdampingan dengan alam.
Ketua Bidang Pengembangan SDM GAPKI, Sumarjono Saragih, menyebut posisi Kapuas Hulu sebagai wilayah yang unik sekaligus penuh tantangan.
“Di satu sisi, masyarakat punya hak untuk hidup sejahtera. Tapi di sisi lain, mereka juga harus menjaga taman nasional dan kelestarian hutan,” kata Sumarjono, dikutip GAPKI, Minggu (2/11/2025).
Keterbatasan ruang ekonomi akibat regulasi dan pengawasan ketat, termasuk dari lembaga lingkungan, membuat warga di daerah ini harus berpikir ekstra hati-hati.
Padahal, sekitar 44 persen wilayah Kapuas Hulu merupakan area non-hutan yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat. Namun di lapangan, para petani justru terjebak dalam masalah klasik: bibit palsu.
Harga murah dan kurangnya informasi membuat banyak petani tergoda membeli benih dari lapak daring tanpa sertifikasi. Akibatnya, produktivitas rendah, hasil panen jeblok, dan kekecewaan pun berulang.
Untuk menjawab persoalan itu, Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) menggelar Pertemuan Teknis Petani Sawit di Putussibau pada 30 Oktober 2025.
Acara bertema “Pengembangan Sawit untuk Kesejahteraan Masyarakat di Daerah 3T” ini mendapat dukungan penuh dari Ketua DPRD Kapuas Hulu Yanto SP dan Bupati Fransiskus Diaan.
Keduanya hadir langsung membuka acara — tanda bahwa sawit bukan lagi sekadar komoditas, melainkan urusan penting bagi masa depan daerah.
Dalam forum tersebut, GAPKI hadir memberi pemahaman soal penguatan SDM dan praktik sawit berkelanjutan.
“Selain bibit bersertifikat, petani juga perlu dilindungi secara manusiawi. Mereka harus paham keselamatan kerja, kesehatan, dan jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan. Sawit tidak hanya tentang lahan, tapi tentang manusia yang menanam dan mengelolanya,” ujar Sumarjono.
Antusiasme petani luar biasa. Lebih dari 150 peserta memadati Hotel Grand Banana Putussibau, melampaui kapasitas ruangan. Fakta itu menjadi penanda betapa sawit telah menjelma harapan ekonomi utama bagi warga Kapuas Hulu.
Sumarjono menekankan pentingnya kolaborasi multipihak untuk membangun industri sawit yang adil dan lestari.
“Harus ada dialog terbuka dengan semua pihak, termasuk NGO lingkungan. Kalau dialog dilembagakan, hasilnya bisa nyata dan berkelanjutan,” katanya.
Ia mencontohkan keberhasilan JAGA SAWITAN, platform dialog antara pengusaha sawit dan serikat buruh yang telah membuktikan bahwa kerja sama bisa berjalan tanpa saling curiga.
Semangat kolaboratif itu kini hendak direplikasi di Kapuas Hulu melalui inisiatif baru: ISAKU (Inisiatif Sawit Berkelanjutan Kapuas Hulu). Uniknya, kata “ISAKU” terdengar seperti “desaku” — sejalan dengan semangat membangun dari akar rumput.
Konsep ISAKU ini sejalan dengan agenda Asta Cita Prabowo–Gibran, yang menempatkan desa dan kesejahteraan rakyat sebagai pusat pembangunan.
Dengan sinergi antara JAGA SAWITAN dan ISAKU, muncul energi baru untuk mendorong sawit yang tak hanya ramah lingkungan, tapi juga manusiawi dan berpihak pada rakyat kecil. (zan)




