JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memasang target besar: produksi sawit nasional tembus 92 juta ton pada 2045.
Namun, Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, mengingatkan, ambisi itu hanya bisa tercapai bila sektor hulu dibenahi dan produktivitas petani ditingkatkan.
Eddy menilai, stagnasi produksi sawit dalam beberapa tahun terakhir menjadi alarm bagi industri. Tanpa pembenahan di tingkat kebun, program hilirisasi yang digadang-gadang pemerintah tidak akan berjalan optimal.
“Hilirisasi tak akan berhasil kalau hulunya bermasalah. Produktivitas petani harus naik,” kata Eddy, dalam sebuah diskusi publik tentang peran industri sawit dalam perekonomian berkelanjutan di Jakarta.
Ia menyoroti pentingnya mendorong petani swadaya agar mampu memproduksi lebih efisien dan berkelanjutan.
Upaya seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan kemitraan dengan perusahaan besar dinilai krusial untuk meningkatkan hasil panen sekaligus menjaga pasokan bahan baku industri.
Menurut Eddy, kebijakan program biodiesel menjadi bukti nyata bagaimana sawit menopang ekonomi rakyat.
“Dulu harga sawit sempat di bawah biaya produksi. Banyak petani membiarkan buahnya busuk di pohon,” ujarnya.
Kini, dengan adanya kebijakan campuran biodiesel, permintaan sawit meningkat dan harga kembali stabil.
“Program biodiesel menyelamatkan ekonomi daerah. Sawit kembali bernilai, dan kehidupan di desa-desa penghasil sawit ikut bergerak,” tutur Eddy.
Bagi GAPKI, masa depan industri sawit bukan hanya soal ekspor, tetapi juga keberlanjutan.
“Kalau hulu kuat, hilirisasi akan berkembang, dan manfaatnya bisa dirasakan sampai ke akar rumput,” kata Eddy.
Ia optimistis, dengan peremajaan kebun dan peningkatan produktivitas petani, target 92 juta ton pada 2045 bukan sekadar mimpi. (zan)




