KALTENG - Sehelai demi sehelai, kebun rakyat di Kalimantan Tengah mulai berpindah tangan. Bukan hanya lahan yang terancam hilang, tapi juga asa ribuan warga lokal yang sejak lama bertumpu pada tanah sendiri.
Pengamat perkebunan asal Kalimantan Tengah, Rawing Rambang, mengaku resah dengan maraknya pengambilalihan kebun masyarakat yang berada di kawasan hutan.
“Kita tahu, masyarakat lokal sangat bergantung pada kebun yang mereka kelola. Jangan sampai orang luar masuk ikut campur,” kata Rawing di Palangka Raya, Selasa (30/9/2025).
Rawing, yang juga mantan Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah, menyebut pola kerja sama antara warga dan perusahaan sering kali timpang.
Warga lokal tidak memahami detail aturan hukum, sementara posisi tawar mereka lemah. Ia mendorong agar masyarakat adat dilibatkan dalam setiap keputusan, termasuk Dewan Adat Dayak (DAD).
“Orang Dayak punya kemampuan mengelola kebun sendiri, tidak perlu mendatangkan tenaga dari luar,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Jika tak ada solusi arif, persoalan kebun rakyat bisa memicu konflik sosial.
“Kalau lahan diambil, bagaimana mereka bisa makan dan menghidupi keluarga? Mereka hanya punya 2–3 hektare untuk hidup, bukan untuk kaya,” tutur Rawing.
Ia menambahkan, persoalan tata ruang semakin mempersempit ruang hidup masyarakat. Dari total wilayah Kalimantan Tengah, 77,6 persen ditetapkan sebagai kawasan hutan, sementara area penggunaan lain hanya 22,4 persen.
“Hutan boleh dijaga, tapi rakyat juga harus hidup. Kalau hutan tidak menghasilkan apa-apa, lebih baik ditanami sawit atau tanaman lain yang memberi manfaat,” katanya. (zan)