Beranda / Berita / Teknologi / Helen Julia dan Revolusi Hijau...
Teknologi

Helen Julia dan Revolusi Hijau dari Kolam Limbah Sawit

Di tangan Helen Julia, air limbah sawit bukan lagi akhir, melainkan awal dari siklus baru. Sama seperti spirulina yang menyukai cahaya, ide-ide Helen seakan mencari ruang terang untuk tumbuh.

16 November 2025
17 menit membaca
Admin SahabatSawit
Helen Julia dan Revolusi Hijau dari Kolam Limbah Sawit

Helen Julia. FOTO : INSTAGRAM

Bagikan:

JAKARTA - Di tengah gelombang kerisauan atas gunungan air limbah sawit di Indonesia, Helen Julia, PhD—peneliti perempuan yang senyap tapi tajam—mengendus peluang hidup baru dalam genangan pekat itu.

Dengan modal teknologi membran yang ia pelajari sejak bangku S1 dan sejumput spirulina yang akrab dengan cahaya, Helen meracik gagasan yang bisa jadi salah satu terobosan paling segar dalam pengolahan limbah sawit.

 Rabu siang, 12 November 2025, di sebuah aula di Jakarta, Helen berdiri dengan wajah sumringah seusai menerima penghargaan L’Oreal-UNESCO For Women in Science 2025.

Namun di balik penghormatan itu, pikirannya masih menaut pada satu masalah: air limbah sawit yang nyaris tak tertangani dengan elegan di negeri produsen sawit raksasa ini.

“Untuk setiap satu ton CPO (minyak sawit mentah), kita menghasilkan 5 sampai 7 ton air limbah,” ujar Helen, membuka paparannya, dikutip liputan6.

Angka itu memang mencengangkan, dan mengendap sebagai fakta yang selama ini ditutupi gemerlapnya industri sawit.

Karena jumlah produksi terus melonjak, limbah pun ikut membubung, dan teknologi konvensional yang mengandalkan kolam raksasa beserta sinar matahari sudah mulai megap-megap mengejar laju produksi.

Tiga tahun lalu, Helen mengais inspirasi baru: nanofiltrasi pada biofotoreaktor membran. Teknologi ini memungkinkan limbah diolah lebih dalam dan terukur. Hasil awal memang menjanjikan, meski belum sampai pada tahap “air siap dilepas ke alam”.

Namun alih-alih berhenti, Helen justru melihat pintu lain yang terbuka: spirulina, mikroalga biru kehijauan yang selama ini kita kenal sebagai suplemen kesehatan.

“Air limbah itu masih mengandung zat-zat yang buat kita disebut polutan, tapi buat mikroalga itu makanan,” ujar Helen.

Jika spirulina dilepaskan ke limbah sawit, ia akan “memakan” polutan itu hingga menyisakan air yang jauh lebih bersih.

Bukan hanya itu—hasil panennya berupa spirulina bisa diolah lagi. Dua manfaat dalam satu sistem: de-polusi dan biomassa bernilai ekonomi.

Selama ini spirulina memang sudah populer sebagai protein sel tunggal, tapi penelitian Helen menunjukkan mikroalga mungil itu punya potensi lebih: bahan bakar nabati.

Kandungan lemaknya membuat spirulina kandidat menarik untuk biofuel, meski jumlah produksinya harus jauh lebih banyak dan masih memerlukan kajian keekonomian.

“Nah, selain sawit, spirulina juga bisa jadi biofuel,” tutur Helen, menekankan bahwa kebutuhan energi terbarukan—termasuk bioavtur untuk dunia aviasi—telah mendesak dan semakin mahal.

Industri penerbangan, yang terus dikejar isu emisi, membutuhkan alternatif bahan bakar rendah karbon. Namun harga bioavtur masih melambung. Spirulina mungkin saja menawarkan jalur baru yang lebih efisien.

Dengan kolaborasi teknologi membran, nanofiltrasi, dan mikroalga, Helen sedang merancang sistem yang bekerja tak hanya membersihkan, tapi juga menciptakan nilai tambah. Dari kolam-kolam yang dulu pasif, menjadi reaktor hidup yang produktif.

 Di tangan Helen Julia, air limbah sawit bukan lagi akhir, melainkan awal dari siklus baru. Sama seperti spirulina yang menyukai cahaya, ide-ide Helen seakan mencari ruang terang untuk tumbuh.

Jika kelak biofuel dari mikroalga menjadi kenyataan, mungkin sejarah akan mencatat: revolusi energi itu lahir dari satu perempuan yang menatap kolam limbah dan melihat masa depan yang lebih hijau. (zan)

Tag:

Helen JuliaInovasi HijauForWomenInScienceNanofiltrasiSpirulinaSainsIndonesia

Berita Terkait