JAKARTA – Pemerintah Indonesia semakin serius mengukuhkan komitmennya terhadap praktik kelapa sawit berkelanjutan.
Langkah strategis terbaru diwujudkan melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 tahun 2025, menjadi tonggak penting dalam perluasan cakupan dan penguatan sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO).
Regulasi anyar ini menandai babak baru bagi industri kelapa sawit nasional, dengan fokus yang tak hanya pada aspek hulu, melainkan juga merambah sektor hilir dan bioenergi.
ISPO: Lebih dari Sekadar Label, Sebuah Sistem Holistik
Ratna Sariati, Ketua Kelompok Substansi Penerapan dan Pengawasan Mutu Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian, dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertajuk "Perpres 16/2025 ISPO untuk Industri Sawit Berkelanjutan," menjelaskan bahwa ISPO bukan hanya sekadar label atau sertifikat.
"ISPO adalah sistem menyeluruh yang memastikan bahwa seluruh aktivitas usaha kelapa sawit dilakukan secara layak dari sisi ekonomi, sosial budaya, serta ramah lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan," tegas Ratna.
Sertifikasi ISPO menjadi bukti tertulis yang menegaskan bahwa pengelolaan kebun sawit telah memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan tersebut.
Dasar hukum ISPO berakar kuat pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 2, 3, dan 62. Implementasinya sebelumnya diatur dalam Perpres Nomor 44 Tahun 2020, yang kini disempurnakan menjadi Perpres Nomor 16 Tahun 2025.
Perluasan Ruang Lingkup dan Restrukturisasi Kelembagaan
Perubahan fundamental dalam Perpres 16/2025 terletak pada perluasan ruang lingkup ISPO yang kini mencakup seluruh rantai nilai, dari hulu hingga hilir, termasuk sektor industri olahan dan bioenergi. Konsekuensinya, tanggung jawab pelaksanaan ISPO tidak lagi sepenuhnya berada di pundak Kementerian Pertanian.
"Dengan penambahan ruang lingkup ini, Perpres 16/2025 juga membawa restrukturisasi kelembagaan dan skema pembiayaan baru," jelas Ratna.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kini turut terlibat untuk sektor hilir, sementara Kementerian ESDM mengemban tugas untuk bioenergi. Pemerintah juga memberikan dukungan signifikan bagi para pekebun.
"Kini, pembiayaan ISPO untuk pekebun dapat difasilitasi oleh APBN, APBD, maupun Badan Pengelola Dana Perkebunan," imbuh Ratna, menggarisbawahi komitmen pemerintah dalam membantu pekebun rakyat mencapai standar keberlanjutan.
Bagi pelaku usaha yang abai terhadap ketentuan ISPO, pemerintah telah menyiapkan sanksi administratif.
"Sanksi administratif seperti teguran, denda, hingga pemberhentian sementara usaha dapat dikenakan bagi pelaku usaha yang tidak mematuhi ketentuan ISPO," tegas Ratna.
Capaian Sertifikasi dan Target Ambisius
Hingga Februari 2025, data menunjukkan progres yang menggembirakan. Sebanyak 1.157 pelaku usaha telah memperoleh sertifikat ISPO, meliputi total lahan seluas 6,2 juta hektare.
Mayoritas, sekitar 84 persen, adalah perusahaan swasta, disusul oleh BUMN sebesar 9 persen, dan pekebun rakyat sebesar 7 persen. Dalam hal luasan areal tersertifikasi berkelanjutan, Indonesia bahkan berhasil melampaui Malaysia.
Ratna juga mengungkapkan bahwa saat ini, Kementerian Pertanian tengah merampungkan pembaruan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Permentan ini akan menjadi turunan operasional dari Perpres 16/2025, menggantikan Permentan sebelumnya yang merupakan turunan dari Perpres 44/2020.
ISPO Hilir: Menjamin Ketelusuran Produk Olahan Sawit
Di sisi hilirisasi, Kementerian Perindustrian bergerak cepat menyiapkan skema sertifikasi ISPO untuk sektor hilir. Lila Harsyah Bakhtiar, Direktur Kemurgi, Oleokimia, dan Pakan Kemenperin, menjelaskan bahwa meskipun terminologi ISPO hilir masih fleksibel, prinsip dasarnya tetap sama: memastikan produk sawit olahan yang sampai ke tangan konsumen berasal dari sumber yang berkelanjutan.
Lila menekankan pentingnya menjaga ketelusuran (traceability) produk hilir. "Saat ini Indonesia hanya mengekspor sekitar 10 persen dari CPO mentahnya, sementara sisanya dalam bentuk olahan.
Oleh karena itu, menjaga ketelusuran produk hilir menjadi sangat penting, mengingat pasar global kini semakin menuntut produk yang berkelanjutan," jelasnya.
Sertifikasi ISPO hilir akan memberikan jaminan tertulis kepada konsumen. "Sertifikasi ISPO hilir ini ibarat sertifikasi halal, memberikan jaminan tertulis kepada konsumen bahwa produk tersebut sudah berkelanjutan," terang Lila.
Meskipun terdapat 190 jenis produk hilir sawit, sertifikasi tidak akan diterapkan pada semuanya. Fokus akan diberikan pada produk dengan volume besar dan potensi pasar tinggi.
Sertifikasi hilir ini akan memungkinkan pencantuman logo ISPO pada kemasan produk, sebagai penanda bahwa produk tersebut telah memenuhi prinsip keberlanjutan.
Model sertifikasi ISPO hilir akan mengacu pada sistem mass balance atau keseimbangan massa, yaitu mencampur bahan baku bersertifikasi dengan yang belum, namun tetap dalam batas pengawasan yang ketat.
"Keseimbangan massa membutuhkan sistem pencatatan yang ketat, dan kami akan mengadopsi beberapa norma dari standar internasional seperti RSPO, ISCC, dan MSPO," ujar Lila.
Berbeda dengan sertifikasi lain seperti SNI, ISPO hilir akan mensertifikasi proses produksinya, namun label atau logo akan ditempatkan pada produk akhir.
Sertifikasi ini akan berlandaskan pada tiga prinsip utama: kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, sistem dokumentasi yang baik, dan praktik usaha yang berkelanjutan selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (UN SDGs).
Draf peraturan ISPO hilir akan dipublikasikan untuk konsultasi publik pada Juni 2025. Proses sertifikasinya akan merujuk pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2020.
Dengan skema yang disiapkan secara inklusif dan kolaboratif, pemerintah berharap sertifikasi ISPO hilir dapat diterapkan secara efektif tanpa menjadi beban berlebih bagi pelaku usaha. (zan)